Alamak! Begitu kabarnya, begitu juga gaya mereka. Ketika sorotan publik mulai membakar ujung proposal yang belum dicairkan, para pemain pokir pun beringsut, diam-diam mengemas laptop, menyeruput kopi terakhir, dan… pindah lapak.
Dulu, mereka nongkrong nyaman di kawasan rumah sakit militer—di warung kopi yang lebih mirip kantor operasional semi-rahasia. Di situ proposal disusun, nama media diedit dadakan, redaktur fiktif diselipkan, dan konon stempel kantor dicetak di bawah meja. Tempat itu pun dijuluki pos pokir. Sebuah terminal bagi para penikmat dana publikasi, dari yang modal kartu Rp15.000 hingga yang berlabel UKW Dewan Pers.
Tapi begitu kisah mereka mulai menguap ke permukaan, berubah-ubah bentuk seperti asap dari puntung terakhir, mereka pun main simsalaben! Hilang di satu sudut kota, muncul di sudut lain.
Kali ini mereka pindah ke kawasan yang lebih “pasar”, lebih ramai, dan tentu saja, lebih sulit dipantau: kawasan Ali Baba. Bukan nama tokoh jujur pencuri harta rampasan, tapi nama sindiran untuk warung-warung kopi di sekitar pasar tradisional, tempat jual beli pakaian dari daster, celana pendek, sampai kutang BH diskon. Di sinilah mereka kini “bersembunyi”. Tempat baru, napas lama.
Eh, jangan salah. Mereka bukan pindah karena tobat. Mereka hanya mencari lokasi baru yang lebih steril dari kamera dan bisik-bisik tetangga. Di Ali Baba, 40 pencuri dalam dongeng berubah wujud jadi 40 “wartawan” berstatus setali dua uang. Ada yang bersertifikat UKW tapi tak pernah menulis, ada yang mengaku redaktur padahal tak punya redaksi, ada pula yang modal kartu gratisan dari bos media yang baru dibikin pagi tadi.
Lalu, saat ngopi bersama, mereka saling tepuk pundak, saling senyum sok tahu, dan tentu saja saling bagi peluang. Tapi giliran jatah pokir tak turun ke tangan, mulailah satu sama lain saling gigit. Yang UKW menyebut yang KW tak layak, yang KW menuding yang UKW sombong dan lupa asal usul.
Padahal—ini bagian yang paling lucu—yang UKW itu pun dulunya KW juga, bahkan dapat kartu abal-abal dari kantor media yang sekarang tinggal domain dan satu lembar “surat tugas”. Dunia memang sempit, apalagi kalau dijalani sambil bawa proposal dan kuota wawancara fiktif.
Sementara itu, Ery Iskandar, pemantau media independen, menerima kabar itu saat singgah ke lapak lama. “Kebetulan pas saya mampir, yang tersisa cuma kawan-kawan yang belum terkontaminasi. Yang masih punya idealisme, yang malu kalau harus minta-minta dana pokir pakai baju jurnalis,” katanya sambil mengaduk kopi yang kini sudah tak sepekat kisah yang diceritakan.
Ery juga mencium nama-nama besar yang selama ini sembunyi di balik status sosial. “Ada ASN, ada juga petinggi organisasi jurnalis. Beberapa bahkan pura-pura miskin, segelas kopi pun ogah bayar, biar tampak bersih dan tak terlibat. Tapi begitu dana turun, ya… HP dua, motor ganti, dan akun medsos makin aktif promosi jasa liputan,” sindirnya.
Lebih lucu lagi, mereka kini kian pintar. Tak lagi hanya bawa proposal, tapi sudah sekalian merancang media baru. Biar lebih “berwibawa”, nama medianya pakai istilah nasionalis, edukatif, atau Islami. Padahal isinya cuma press release daur ulang, berita titipan, dan kolom opini yang mengagungkan pemberi pokir.
Kadang mereka membuat seminar dadakan, sewa ruangan seadanya, undang pejabat dua tiga orang, lalu foto ramai-ramai dengan backdrop organisasi abal-abal. Tak lupa, diselipkan ucapan terima kasih atas “dukungan publikasi yang berkelanjutan.”
Sungguh, akrobat yang sempurna. Jika wartawan sejati sibuk mengejar kebenaran, mereka ini sibuk mengejar celah. Mereka bukan mencari berita, tapi mencari sumber dana. Kadang tak menulis satu berita pun dalam sebulan, tapi bisa menyetor kuitansi pencairan seperti kantor berita resmi.
Maka sebutlah semua ini sebagai kisah dari negeri dongeng. Negeri yang tak jelas di mana letaknya, tapi mungkin tak terlalu jauh dari meja Anda. Negeri yang tokohnya mirip, tapi tentu bukan Anda. Karena kalau Anda tersinggung, bisa jadi kisah ini lebih dekat dari yang Anda bayangkan.
Karena di negeri dongeng itu, lapak boleh bergeser, tapi nafsu tak pernah pindah tempat.
Dan jika cerita ini terdengar akrab di telinga Anda, jangan-jangan… Anda tokohnya. (HS/AF/AW)