Catatan Fiksi Ery Iskandar untuk Rakyat yang Sering Kecolongan
Di tengah-tengah Desa Konoha, negeri yang katanya makmur karena kebebasan pers dan kemandirian lembaga, berdiri warung kopi yang nama dan takdirnya sama: Warung Ali Baba. Bukan karena pemiliknya arab, bukan pula karena jualannya kaya rempah, melainkan karena di sanalah para perampok zaman digital berkumpul. Para wartawan… dan pokir.
Di warung itu, meja-meja menjadi altar transaksi. Percakapan santai jadi tempat menyusun rencana rampokan anggaran rakyat—bukan pakai parang, tapi pakai proposal publikasi dan stempel palsu.
Syuurkawin: Wartawan Rp 15.000 dan Tinta Baja
Tokoh paling menonjol adalah Syuurkawin, wartawan bertopi miring dan rambut tinggal kenangan. Ia menyandang kartu pers seharga Rp 15.000—dibuat cepat, berlaku lama, dan bisa dipakai memaksa siapa saja hormat seolah ia jurnalis sejati.
Dia tak pernah menulis berita investigasi, tapi investigasi honor pokir selalu jadi keahliannya. Media tempatnya bernaung tak terindeks mesin pencari, tapi tercantum rapi di daftar mitra strategis aspirasi rakyat.
Si Mantan Pawang Hutan: Dari Gergaji ke Kamera
Lalu ada kawannya, mantan pawang hutan yang kini jadi jurnalis UKW “kompeten”. Dahulu ia menyelamatkan ular, kini menyelamatkan invoice. Ia menyusup ke uji kompetensi wartawan, ikut pelatihan sehari, lalu pulang dengan stempel “kompeten” dan niat menyasar pokir di hutan legislatif.
Dia tidak mengerti “kode etik”, tapi tahu kode akun rekanan. Ia sering memakai rompi media, lengkap dengan kamera DSLR bekas dan saku penuh flashdisk berisi “berita jadi”. Slogannya jelas: “Berita bisa diatur, asal anggaran diukur.”
Sang Paling Suci: Malaikat Palsu di Meja Rampokan
Tak lengkap tanpa menyebut Si Paling Hebat, sosok yang setiap postingannya penuh ayat suci, kutipan regulasi, dan kecaman atas wartawan abal-abal. Ia sering jadi pembicara seminar tentang integritas pers.
Tapi… di balik itu, ia juga menerima “jasa pokir” dalam bentuk “kerja sama dokumentasi”. Bedanya, ia menyuruh orang lain menagih dan mengutip, agar tangannya tetap bersih, citranya tetap putih.
Ia semacam ustaz pers: memarahi wartawan lain sambil tetap ikut menyedot anggaran publik di belakang layar.
Persekutuan Ali Baba: Pokir Jadi Domba, Rakyat Jadi Korban
Mereka duduk semeja, minum kopi murahan, tapi menggenggam jutaan dari dana rakyat. Pembicaraan mereka halus dan sistematis:
> “Yang dapil barat saya pegang, kau timur.”
“Media kita dua bulan tayang, cukup link dummy.”
“Berita jangan kritis, cukup dokumentatif.”
Mereka tahu pokir bukan untuk media. Tapi mereka juga tahu: tak ada yang mengawasi. Bahkan jika ada, mereka undang makan siang.
Ery Iskandar: Ali Baba yang Tak Ikut Mencuri
Suatu siang yang lengang, Ery Iskandar masuk ke warung itu. Ia tidak membawa proposal. Ia hanya membawa catatan kecil dan telinga yang tajam. Orang-orang tak menggubrisnya. Mereka pikir ia wartawan usang. Padahal ia sedang mencatat siapa-siapa saja yang selama ini menghisap uang rakyat sambil mengaku “pilar demokrasi”.
Ia menyaksikan sendiri—wartawan KW, wartawan UKW, wartawan mantan tukang kebun, wartawan bertitel moral tinggi—semua duduk dalam satu meja: meja rampokan pokir berjemaah.
Tapi Ini Bukan Tentang Kita, ‘Kan?
Tentu semua ini cuma fiksi. Terjadi di Negeri Konoha yang jauh dari bumi, tak bersyariat, dan tak punya dewan kehormatan pers. Kalau kau merasa cerita ini mirip dengan negeri kita… itu kebetulan. Atau jangan-jangan… kau sedang duduk di Warung Ali Baba saat membaca ini?
Kalau begitu, berhati-hatilah. Karena Ali Baba yang asli bisa saja sedang mencatat namamu.
“Rakyat terus membayar, kalian terus menyedot. Bedanya hanya satu: mereka jujur lapar, kalian pura-pura bekerja,” pungkas Ery Iskandar (HB/TA)
–