Banda Aceh – Pemantau pers dan penulis kritik tajam, Ery Iskandar, resmi mengumumkan jeda sementara dari aktivitasnya dalam menurunkan tulisan-tulisan tentang kejahatan dan penyimpangan di dunia pers, khususnya di Aceh. Pernyataan ini disampaikan Ery melalui pesan singkat, Rabu, 21 Mei 2025 kepada rekan-rekan jurnalis dan jejaring media yang biasa mempublikasikan karya-karyanya.
“Untuk sementara waktu, saya memilih menepi. Bukan karena takut, bukan pula karena lelah. Hanya ingin memberi ruang bagi diri sendiri untuk menata ulang nafas dan niat, agar tulisan-tulisan saya ke depan tidak hanya menjadi peluru, tapi juga cermin,” ujar Ery, Senin (20/5/2025).
Nama Ery Iskandar dalam beberapa bulan terakhir dikenal luas di kalangan insan pers Aceh. Lewat tulisan-tulisan satire dan investigatif seperti “Sertifikat dan Muka Tembok”, “Direktur di Atas Kertas, Redaktur di Balik Anggaran”, hingga serial “Negeri UeKaWe”, ia menyorot praktik-praktik manipulatif di tubuh media, termasuk maraknya wartawan bersertifikat yang mendirikan perusahaan pers semu demi mengejar anggaran publikasi pemerintah.
Karya-karya Ery kerap mengguncang, tidak hanya karena isinya yang tajam, tetapi juga keberaniannya dalam menyebut praktik-praktik yang selama ini dianggap tabu dibongkar dari dalam dunia jurnalisme sendiri.
Namun, jeda ini tidak serta-merta berarti mundur. Menurutnya, ini adalah bagian dari strategi panjang untuk menyusun ulang langkah dan memperluas cakrawala kerja-kerja intelektual di bidang jurnalistik.
“Setiap kritik punya usia. Tapi semangat untuk memperbaiki, harus tetap hidup. Kita tidak mungkin menyalakan api terus-menerus tanpa sesekali memadamkan nyala, agar tak membakar diri sendiri,” kata Ery.
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang selama ini mendukung maupun mengkritik tulisan-tulisannya. “Baik kawan maupun lawan, semuanya adalah guru,” pungkasnya.
Meski akan berhenti sementara menulis tentang kejahatan di dunia pers, Ery menyiratkan bahwa dirinya tetap akan aktif dalam kerja-kerja pemikiran dan penguatan etika jurnalistik, terutama di kalangan media kecil dan jurnalis independen.
Langkah ini menjadi refleksi penting bagi dunia pers Aceh, di tengah arus komersialisasi, konflik kepentingan, dan kaburnya batas antara profesi jurnalistik dan kepentingan bisnis. (*)