Berita Pesona.com | Mereka datang dengan jas longgar, berpakaian Necis dan wajah ramah. Menyadang titel sarjana namun tidak dipekerjakan di pemerintah. Kartu pers tergantung di dada, status “utama” jadi senjata. Duduk di hadapan pejabat, menyebut nama media yang tak pernah kita baca. Lalu bicara tentang idealisme, kebebasan pers, dan pentingnya kontrol sosial. Tapi setelah lima menit, semua jadi jelas—mereka tidak sedang meliput, mereka sedang mencari peluang.
Warung-warung kopi seputaran di sekitar kantor pemerintahan menjadi markas harian mereka. Tempat berkumpul, tempat menunggu dikala siang dan malam. Mereka tak lagi haus berita, tapi haus perhatian. Duduk berlama-lama, menyapa pejabat yang datang dan pergi, menggoda dengan kedekatan, berharap dibayarkan makan dan minum. Kadang cukup disambut, kadang menunggu “amplop” berisi harapan.
Namun amplop hanyalah awal. Yang ditunggu sebenarnya lebih besar: iklan dan pariwara. Mereka rata-rata memiliki media sendiri—bermodal badan hukum PT, domain web, dan akun medsos aktif. Cukup untuk meyakinkan pejabat bahwa media mereka bisa “berdampak”. Lalu dimulailah pembicaraan tentang kerja sama publikasi, publikasi advertorial, dan janji tayang.
Ada yang bilang mereka veteran. Pernah jaya di zamannya. Kini tersisa jas lusuh dan cerita usang. Tapi status tetap mentereng: kompeten, utama, terdaftar. Legal secara administratif, tapi abu-abu secara etika.
Mereka hadir di setiap acara resmi. Berdiri paling depan saat sesi foto, duduk paling dekat saat pidato, menyisipkan kartu nama di sela-sela salam. Pembukaannya elegan, tapi ujungnya selalu sama: proposal kerja sama, publikasi berbayar, atau sekadar permintaan “transportasi”.
“Awalnya sopan,” kata seorang pejabat provinsi. “Tapi ketika permintaan tak dituruti, datang berita miring. Sudutnya janggal, datanya tipis, tapi cukup membuat gaduh.”
Hari-hari mereka dihabiskan dalam ritme yang sama: dari warung kopi ke kantor, dari kantor ke acara, dari acara ke meja makan. Mereka tak mencari kebenaran, tapi kelengahan. Tak lagi membawa pertanyaan, tapi perhitungan. Semua dikemas rapi dalam bahasa “kemitraan media”.
Yang muda jadi korban. Citra jurnalis tergerus. Kredibilitas profesi jadi taruhan. Karena yang dulu datang menyamar jadi jurnalis, kini masih gentayangan dengan gaya yang sama—sok idealis, sok dekat, sok peduli, padahal sedang menunggu giliran ditraktir, ditawari proyek, atau disodori pariwara.
Di balik jas mereka ada macem macem Ya., ada sejarah. Tapi sejarah tak selamanya suci. Ada yang patut dikenang, ada pula yang seharusnya disudahi.
Karena selama mereka masih dibiarkan, profesi ini akan terus dicurigai. Dan ruang redaksi akan tetap dijejali nama-nama yang lebih sibuk menagih daripada menulis. (TIM)