Tua Muda Kejar Pokir, Tak Kebagian Main Serang

BANDA ACEH 
Di negeri yang katanya syariah jadi tumpuan, fenomena perebutan dana pokok pikiran (pokir) anggota dewan kembali menyeruak. Tua-muda, wartawan senior maupun pemula, ikut terlibat dalam tarian aneh: siapa cepat, dia dapat. Yang kebagian tertawa, yang tak kebagian main serang.

Sehari-hari mereka disebut jurnalis atau wartawan. Labelnya keren: penegak demokrasi, sosial kontrol, pemantau penguasa. Namun, kata “kontrol” bisa berubah makna bila dilafalkan oleh mereka yang gagap huruf R, dan praktik di lapangan pun tak kalah miris: ada yang menjadi makelar proyek, ada pula yang lihai melobi demi jatah lembu, kambing, hingga dana untuk “menjaga kelangsungan media.”

Bacaan Lainnya

Tak semua wartawan berperilaku negatif. Banyak yang tetap bekerja profesional. Tapi segelintir oknum cukup untuk merusak nama baik profesi. Mereka berputar-putar di sekitar pinggang anggota dewan, membisikkan janji liputan manis, lalu menagih bagian. Ada pula yang berstatus agen: tak punya media, tak ada koran, namun tetap berlagak redaktur sambil menyerahkan paket pokir kepada pihak ketiga. Dari luar terlihat bersih, padahal di belakang layar menjelma “hantu belau”: makhluk halus yang tak kasat mata tapi selalu mengganggu.

Fenomena ini akhirnya mendapat sorotan dari pemantau pers, Ery Iskandar. Ia menilai perilaku segelintir oknum wartawan pemburu pokir sama sekali tidak mencerminkan semangat jurnalisme.

“Wartawan itu tugasnya mencari fakta, bukan mengejar proyek. Kalau sudah masuk ke ranah pokir, apalagi sampai jadi makelar, ya itu bukan lagi kerja jurnalistik. Itu praktik bisnis gelap berkedok pers,” ujarnya tegas, Minggu, 17 Agustus 2025.

Menurut Ery, wartawan-wartawan muda yang idealis justru paling dirugikan, karena nama baik profesi tercemar ulah oknum senior yang lihai bermain di belakang layar. “Yang benar-benar kerja liputan di lapangan jadi ikut dipandang miring. Publik jadi sulit membedakan mana jurnalis profesional dan mana pemburu rente,” tambahnya.

Dari hasil pantauannya pada tahun 2025, Pemko Banda Aceh sangat besar mengalokasikan pokir publikasi di berbagai dinas, padahal kondisi keuangan daerah sedang tidak baik-baik saja. “Ujung-ujungnya rakyat yang jadi korban. Mereka diperas dengan pajak ini-itu hanya untuk menutup lubang anggaran publikasi yang kadang tidak jelas manfaatnya,” ungkap Ery.

Ia menambahkan, fenomena serupa tidak hanya terjadi di Banda Aceh, tetapi juga menjalar ke kabupaten/kota lain seperti Lhokseumawe, Sabang, Aceh Barat, Aceh Jaya, dan lainnya. “Itu penyakit dari Aceh Besar dan Banda Aceh yang menjalar ke mana-mana,” tegasnya.

Menurut Ery, informasi itu ia dapat langsung dari obrolan para oknum wartawan yang sering mangkal di warung kopi. “Kadang di antara mereka saling fitnah dan serang. Sesekali buka aib kawan di warung kopi. Itulah perilaku jurnalis di negeri syariah,” bebernya. (AW/DK)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *