SI: Nafsu Lama dalam Jubah Baru

Ilustrasi: Net

Berita Pesona.com | BANDA ACEH—Pagi masih muda ketika ia duduk di warung kopi pusat kota, membuka laptop usang dan mengetik dengan wajah serius. Di depannya, segelas kopi hitam setengah dingin dan sebungkus rokok murah menjadi kawan setia. Ia tak sedang menulis liputan. Ia sedang menyusun ancaman.

SI bukan nama baru. Ia pernah menjadi pejabat eselon di sebuah dinas basah. Di masa jabatannya, ia disebut-sebut lihai mengelola dana iklan miliaran rupiah. Lihai bukan dalam arti efisien atau transparan. Tapi lihai dalam menjaga agar semua tetap cair, sambil memastikan dirinya aman dari sorotan. Salah satu caranya: menyematkan status wartawan pada dirinya sendiri.

“Ia memang punya kartu pers waktu itu. Tapi bukan untuk kerja jurnalistik,” ujar seorang bekas rekan sekantor SI, Rabu 10 April 2025. Dia melanjutkan, “Itu kartu sakti. Kalau ada yang ribut soal iklan, dia tinggal bilang: saya juga wartawan.”

Setelah pensiun, alih-alih menepi dan menikmati masa tua, SI justru tampil lebih garang. Ia membentuk media online kecil. Namanya asing. Isinya jarang diperiksa. Tapi fungsinya jelas: alat tekanan. Ia menulis berita untuk menggertak. Ia menyebar narasi untuk menuntut bagian. Dan jika permintaan tak dituruti, maka ancaman beralih menjadi publikasi.

“Pernah dia minta jatah dari pokir salah satu pengelola media,” kata seorang narasumber yang mengetahui kasus itu. “Karena tak diberi, dia marah. Bilangnya akan mengacaukan kondisi. Tak lama muncul berita menyudutkan. Isinya lebih mirip surat kaleng daripada karya jurnalistik.”

Cerita semacam ini bukan sekali dua kali terdengar. SI dikenal lihai memanfaatkan nama besar “pers” untuk menekan. Tapi ironisnya, ketika berita itu dikritik atau dikonfirmasi, ia kerap menariknya diam-diam. Jejak digital memang bisa dihapus, tapi ingatan kolektif tak semudah itu dilenyapkan.

Baru-baru ini, SI kembali bikin ulah. Ia menyebar kabar bahwa ketua sebuah partai nasional di Aceh telah diganti. Klaimnya bersumber dari orang dalam. Setelah ditelusuri, ternyata tak lebih dari bualan. Setelah pihak partai membantah, berita itu hilang dari situs medianya—tanpa koreksi, tanpa klarifikasi.

Yang lebih menggelikan, SI bicara soal etika di berbagai forum. Mengaku wartawan senior, memberi kuliah umum tentang pers profesional, menyalahkan media lain, menyucikan medianya sendiri. Semua ia lakukan dengan satu modal: status yang ia beri pada dirinya sendiri.

Kini, SI mulai dijauhi. Banyak yang sudah tahu siapa dia. Dulu dihormati karena jabatan, sekarang disegani karena ditakuti. Tapi rasa takut itu mulai berubah menjadi muak.

“Haji, tapi langkahnya ke kiri. Bicaranya seperti malaikat, tapi gerak-geriknya bikin geleng kepala,” ujar seorang wartawan muda yang pernah diintimidasi SI. “Kalau wartawan seperti itu terus diberi panggung, habis sudah marwah profesi ini.”

Hingga tulisan ini dilansir, redaksi belum berhasil menghubungi SI. Pesan tak dibalas, panggilan tak diangkat. Entah ia sedang menulis berita baru, atau tengah menyusun ancaman baru. Yang jelas, publik kini mulai sadar: bukan semua yang menyebut diri wartawan, adalah penjaga kebenaran. Ada yang datang membawa kartu, tapi niatnya gelap. Ada yang mengelola media, tapi isinya dendam dan fulus. Dan ada pula yang dulu punya kuasa, kini berkedok jurnalis—karena lapar tak pernah pensiun. (EI

 

Disclaimer: Tulisan ini adalah karya naratif berbasis isu aktual dan fenomena etis dalam dunia jurnalistik. Segala kemiripan dengan individu atau peristiwa nyata hanyalah kebetulan semata.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *