Oleh: Dr Phil Munawar A Djalil MA, Pegiat Dakwah dan Kadis Pendidikan Dayah Aceh
KATA DAYAH berasal dari bahasa Arab yaitu Zawiyah yang secara literal bermakna sudut yang diyakini sebagai metode Nabi dengan menggunakan sudut-sudut Masjid Nabawi di Madinah dalam memberikan pelajaran dan pengajaran kepada para sahabat di awal Islam, maka kemudian agar mudah untuk disebut kata Zawiyah dalam pengucapan orang Aceh berubah menjadi Dayah.
Terlepas dari asal usul kata itu, dayah atau pesantren sudah ada di Aceh sejak kesultanan tempo dulu.
Dayah merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Aceh dan berfungsi sebagai benteng Islam.
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan umat sangat penting dilakukan dalam rangka menjaga kualitas pendidikan umat. Dayah sebagai pusat pendidikan agama memiliki peran penting dalam memajukan pendidikan masyarakat Aceh.
Apalagi dayah telah banyak melahirkan ulama-ulama terkenal dan berperan aktif dalam mendidik generasi muda agar taat menjalankan perintah Allah dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Seiring dengan perjalanan waktu dayah terus berkembang di seluruh Aceh, saat ini total dayah yang ada di Aceh sebanyak 1.685 dayah yang terdiri atas 1.273 dayah salafiyah (tradisional) dan 412 dayah terpadu/modern (Database DPDA 2023).
Pada awalnya lembaga pendidikan dayah masih mengacu pada sistem pendidikan tradisional. Namun sejalan dengan perkembangan zaman yang bergerak begitu masif dan progresif yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong lembaga-lembaga dayah berupaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut dengan tidak meninggalkan kultur budaya dan sistem pendidikan dayah yang sesungguhnya.
Lembaga pendidikan dayah dewasa ini dihadapkan pada beberapa perubahan budaya sosial yang tidak dapat dihindari.
Investigasi logistiknya adalah lembaga dayah harus berbenah dengan memberikan respon yang mutualistik.
Menyikapi perubahan itu dayah sudah mulai menampakan wajah baru dengan menerapkan sistem berjenjang, memasukan kurikulum umum, mulai dari ilmu eksakta, bahasa dan lain-lain di samping ilmu agama serta kecenderungan memanfaatkan beberapa fasilitas seperti komputer, laboratorium bahasa, bahkan teknologi internet.
Revitalisasi DAYAH
Menyikapi perkembangan tersebut Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendidikan Dayah merasa perlu untuk melakukan revitalisasi pendidikan dayah untuk memperkuat integrasi dalam membangun Aceh.
Dayah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang setara dengan lembaga pendidikan lainnya memerlukan suatu standarisasi dalam bentuk akreditasi sebagai satuan sistem dalam menjamin mutu pendidikan dayah dan sebagai bentuk indikator dalam melihat keberhasilan pendidikan dayah baik dulu, masa kini maupun masa akan datang.
Kehadiran Majelis Akreditasi Dayah Aceh (MADA) sebagai amanah Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah yang secara teknis tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 64 Tahun 2019 tentang Badan Akreditasi Dayah Aceh merupakan sebuah lembaga yang bertugas memimpin pelaksanaan akreditasi Dayah, melakukan koordinasi, menetapkan kebijakan pelaksanaan sistem akreditasi, menetapkan prosedur, mekanisme dan tahapan pelaksanaannya.
Mekanisme Akreditasi
Keberadaan dayah saat ini telah diakui sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan UU 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Akreditasi dayah adalah proses penilaian komprehensif terhadap kelayakan satuan atau program pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Maka secara legal formal berdasarkan Undang-undang tersebut maka kelayakan program satuan pendidikan dayah dalam sistem akreditasi yang dikembangkan adalah mengadaptasi Standar Nasional Pendidikan (SNP).
SNP sebagai Standar minimal tentang sistem pendidikan di Indonesia yang meliputi 8 (delapan) standar yaitu isi, standar proses, standar kompetensi standar lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilain pendidikan.
Perlu diketahui bahwa standar akreditasi ini adalah tolak ukur yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan dayah.
Standar akreditasi terdiri atas beberapa elemen penilaian (indikator kunci) yang digunakan sebagai dasar diantaranya penyajian data dan informasi mengenai kinerja perangkat pendidikan dayah yang dituangkan dalam instrumen akreditasi termasuk penetapan kelayakan lembaga dayah untuk menyelenggarakan program-programnya.
Intinya seluruh kegiatan akreditasi yang dilakukan MADA diharapkan menjadi pendorong bagi kemajuan pendidikan dayah dan sekaligus penjamin mutu dan kualitas pendidikan dayah yang berkelanjutan. Apalagi MADA satu-satunya majelis yang dibentuk pemerintah yang memiliki kewenangan mengurusi hal ihwal akreditasi dayah pesantren di Indonesia. Tentu semua ini tidak terlepas dari keistimewaan dan kekhususan Aceh di bidang pendidikan.
Penulis teringat sebagaimana yang disampaikan oleh Pj Gubernur Aceh, Safrizal ZA ketika mengukuhkan MADA periode 2024-2027 pada 12 Oktober 2024 lalu. Beliau berharap dengan semangat pelaksanaan Syariat Islam, MADA harus mampu berperan maksimal dalam memformulasikan dayah sebagai lembaga pendidikan mandiri, unggul dan berdaya saing. Bahkan beliau menginginkan agar Aceh sejatinya harus menjadi role model pendidikan Islam baik nasional maupun internasional.
Cita-cita dan keinginan tersebut tidak mungkin diwujudkan asalkan semua pihak mau bersinergi dan berkolaborasi. Yang dimaksud adalah agar semua pihak baik pemerintah (eksekutif, legislatif) maupun lembaga-lembaga dayah bersama-sama menjaga kualitas dayah yang kemudian mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya.
Hemat penulis, selama ini Pemerintah hanya mencurahkan perhatiannya kepada pembangunan fisik dayah semata melalui dana Pokir anggota dewan. Seakan terkait pengembangan SDM santri, manajemen, life skill santri dan lainnya nyaris tidak terabaikan. Maka wajar dalam berbagai kesempatan formal maupun non formal sambil bergurau Pj Gubernur Aceh Safrizal mengatakan Dinas Dayah saat ini telah berubah tampilan dan wujudnya sebagai Dinas PU Syariah. Ucapan yang menurut saya sangat positif ini bukan tanpa alasan, karena berdasarkan fakta bahwa memang hampir 80 persen anggaran dinas dayah terserap ke pembangunan fisik dayah dengan skema swakelola bersumber dari dana Pokir anggota dewan.
Khatimah
Dalam rangka revitalisasi pendidikan dayah untuk memperkuat peran membangun Aceh ke depan, penulis berharap anggaran pemerintah terutama yang bersumber dari dana Pokir dewan tersebut tidak hanya diperuntukan untuk pembangunan fisik dayah semata melainkan harus juga terfokus pada peningkatan kualitas mutu pendidikan seperti SDM santri dan guru, manajemen, Termasuk program mewujudkan kemandirian dayah melalui life skill dan berbagai usaha sektor perkebunan dan pertanian dan lainnya.
Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya, dalam sejarah, Aceh pernah menjadi wilayah modal bagi keberadaan republik ini dan dalam beberapa sektor pula kita juga pernah menjadi model dan rujukan bagi provinsi lain di Indonesia. Namun bukan sesuatu yang mustahil dengan usaha kolaboratif semua pihak pada suatu saat nanti sistem pendidikan dayah di Aceh dengan berbagai macam keunggulannya juga akan menjadi rujukan pendidikan Islam global.
Itulah sesungguhnya yang tertuang dalam Konsep Rancangan Teknokratik RPJMN Tahun 2025-2029 dengan tema pembangunan Aceh “Serambi Barat Indonesia yang mengedepankan agrikultur dan agroindustri, ekonomi hijau dan syariah, serta menjadikan referensi pendidikan Islam Global”. Nah, wallahu ‘alam.