Oleh Prof Dr Al Yasa’ Abubakar, MA (Ketua Dewan Pertimbangan Syariah Baitul Mal Aceh)
Berita Pesona.com | Dalam Al-Qur’an, umat Islam diperintahkan (wajib) berpuasa pada Ramadhan, penuh satu bulan. Selain berpuasa umat Islam sangat dianjurkan untuk mengerjakan banyak amalan sunat, dan juga diberi penekanan untuk secara lebih sungguh-sungguh menghindarkan perbuatan buruk yang merugikan orang lain, baik yang dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja. Misalnya saja mengolok-olok, bergunjing, mengupat, memfitnah, berbuat curang, mengambil hak orang lain, atau sekadar mengabaikan atau menghalangi orang lain memperoleh haknya.
Ramadhan merupakan bulan istimewa, karena perbuatan baik dalam bulan ini (yang dilakukan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh) akan lebih besar pahalanya dan sebaliknya perbuatan buruk pun akan lebih besar dosanya.
Dalam sebuah hadis disebutkan yang maknanya lebih kurang, orang yang berpuasa tetapi tidak dapat menjaga lidah dan tangannya dari merugikan orang lain, maka dia tidak mendapat apa-apa dari puasa tersebut selain dari lapar dan haus. Sebaliknya ada hadis yang maknanya lebih kurang, orang yang berpuasa dengan sepenuh hati dan tulus karena Allah Swt, akan diberi keampunan sehingga dosa masa lalunya akan terhapus.
Hadis di atas memberi makna bahwa orang yang berpuasa dengan tulus dan ikhlas akan menjadi suci, karena telah bersih dari semua dosa masa lalu. Dengan demikian nilai atau pahala puasa menurut hadis ini (dan beberapa hadis lain yang semakna dengannya), sekiranya dibandingkan dengan ibadat wajib lain relatif sangatlah tinggi, karena dapat menghapus semua dosa masa lalu.
Mungkin bermanfaat untuk diingatkan, bahwa ibadah dalam Islam adalah mengerjakan perbuatan baik yang disuruh (disenangi) Allah Swt dan menghindarkan perbuatan buruk yang dilarang (dibenci) Allah Swt, dengan tujuan memperoleh keridhaan-Nya.
Secara lebih konkret tujuan ibadah adalah memperoleh kemuliaan dan kesejahteraan di akhirat (masuk ke dalam surga) dan juga kemuliaan dan kesejateraan di dunia (hidup mandiri dan terhormat). Maksudnya orang yang mulia (di dunia dan di akhirat) menurut Islam adalah mereka yang selalu berbuat baik karena Allah (selalu berusaha meningkatkan kualitas dirinya), sehingga kehadirannya selalu bermanafat, baik untuk dirinya dan juga orang lain. Mereka inilah yang dalam bahasa agama dikatakan sebagai orang-orang yang bertakwa (memperoleh banyak pahala dan terhindar dari dosa).
Sebaliknya orang yang merugi (memperoleh kehinaan di dunia dan di akhirat) adalah mereka yang tidak menghargai bahkan merendahkan kemanusiaannya, terjerumus mengikuti nafsu, sehingga kehadirannya dianggap akan merugikan dirinya sendiri dan juga akan meresahkan dan bahkan merugikan (menzalimi) orang lain. Dalam bahasa agama mereka ini dikatakan sebagai orang-orang yang kufur nikmat (memperoleh dosa banyak dosa sehingga menggerogoti pahalanya).
Dosa pada garis besarnya ada dua, dosa kepada Allah dan dosa kepada manusia. Dosa kepada Allah adalah melanggar aturan Allah, dalam bentuk melakukan pekerjaan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, yang merugikan dirinya sendiri. Dalam hadis disebutkan bahwa dosa kepada Allah dapat dihapus dengan mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dan bertaubat nasuha. Taubat nasuha adalah kesadaran dan penyesalan mendalam karena telah melakukan perbuatan salah disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya pada masa yang akan datang.
Sedangkan dosa kepada manusia adalah melanggar aturan Allah, dalam bentuk melakukan pekerjaan yang menyusahkan atau merugikan orang lain, seperti bergunjing, mengupat dan memfitnah. Contoh lainnya, mengambil hak orang lain secara tidak sah, seperti mencuri, menipu, korupsi dan menghalangi orang lain untuk memperoleh haknya. Dalam hadis disebutkan bahwa dosa kepada seseorang tidak akan terhapus apabila tidak dimaafkan oleh orang yang dizalimi atau dirugikan tersebut.
Agar keampunan menjadi sempurna setelah Ramadhan, sehingga dosa kepada Allah akan terhapus dan dosa kepada manusia pun akan “diputihkan”, maka ibadah yang sungguh-sungguh dan tulus kepada Allah mesti disempurnakan dengan meminta maaf dan memberi maaf kepada sesama manusia. Permintaan dan pemberian maaf ada yang dapat dilangsungkan dengan cara bersalaman sembari dengan tulus meminta maaf secara lisan.
Namun ada permintaan maaf yang baru akan dipenuhi apabila diiringi dengan pembayaran semacam “ganti rugi” karena dosa yang dilakukan telah merugikan orang lain secara materil atau telah mencemarkan nama baiknya. Dalam keadaan ini permintaan maaf baru dianggap telah dilakukan secara sungguh-sungguh ketika “ganti rugi” tersebut telah dibayarkan atau dipenuhi secara wajar.
Mengenai waktu untuk meminta dan memberi maaf tidak disebutkan di dalam hadis secara jelas. Menurut penulis akan sangat baik sekiranya dilakukan dalam Ramadhan, bulan yang dianggap mulia dan penuh berkah. Masyarakat kita telah membangun adat untuk melakukan kegiatan saling meminta dan memberi maaf setelah Ramadhan usai, setelah Shalat Hari Rayadikerjakan, ketika bersilaturrahmi antar anggota keluarga, berkunjung ke tetangga dan kolega, dan juga melalui kegiatan halal bi halal, di kantor tempat bekerja atau di kampung tempat tinggal.
Semoga semua kita tidak hanya khusyuk dalam beribadah meminta ampunan atas dosa-dosa kepada Allah, tetapi juga bersungguh-sungguh meminta maaf atas kesalahan kepada kerabat, tetangga dan rekan-rekan, dan sebaliknya membuka diri untuk memberikan maaf kepada orang lain, baik kerabat, tentangga ataupun rekan. Tentu sangat tidak etis kalau kita hanya berusaha untuk meminta maaf atas kesalahan kita kepada orang lain, tetapi tidak mau memberi maaf atas kesalahan orang lain kepada kita.
Semoga dengan ibadah yang kita lakukan dengan sungguh-sungguh, diiringi dengan saling memaafkan yang tulus, maka kita dapat kembali ke fitrah, kembali suci, bersih dari dosa setelah Ramadhan kita lalui.[]