Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang Pengganti Bagi Korporasi Yang Bukan Terdakwa Korupsi

Dr. (c) Jufri, SH. MH. (Foto: dok. Istimewa)

“Korporasi Turut Dimintai Pertanggungjawaban Uang Pengganti”

BERITA PESONA.com — Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam penanganan tindak pidana korupsi yang awalnya represif menjadi preventif, karena penegakan hukum tidak lagi menitikberatkan kepada seberapa banyak perkara korupsi yang ditangani dan pelaku yang dihukum. Namun lebih kepada upaya untuk menjamin satu wilayah bebas dari korupsi, serta bagaimana kerugian keuangan negara dapat dipulihkan dengan memaksimalkan hasil penyelamatan keuangan negara, uang pengganti maupun rampasan barang bukti dan aset, milik pelaku maupun korporasi.

Bacaan Lainnya

Diperlukannya penyamaan presepsi mengenai penerapan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi terkait pemulihan kerugian perekonomian (keuangan) negara.

Trend penanganan kasus korupsi yang ditangani, baik Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan semakin membaik. Pasalnya, hal ini tidak dapat serta merta menjadi suatu pencapaian karena harus memastikan bahwa potensi nilai kerugian keuangan negara harus kembali ke kas negara.

Pengusutan tindak pidana korupsi diharapkan mampu menciptakan efek jera bagi pelaku dan keluarganya dan juga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan tindak pidana korupsi.

Paket liburan keluarga

Upaya yang dilakukan untuk optimalisasi penyelamatan keuangan negara adalah dengan mengoptimalkan penanganan perkara tindak pidana korupsi, yang dilaksanakan melalui strategi, yaitu pertanggungjawaban pidana tidak hanya diarahkan kepada subyek hukum orang perseorangan akan tetapi juga subyek hukum korporasi.

Dengan tujuan bahwa pemidanaan tidak hanya diarahkan kepada subyek hukum orang perseorangan akan tetapi juga subyek hukum korporasi adalah selain untuk memunculkan efek penjeraan tetapi juga akan menghasilkan pendapatan negara, karena korporasi sebagai pelaku tindak pidana akan dihukum untuk membayar denda atau uang pengganti.

Salah satu kekhususan Hukum Tindak Pidana Korupsi adalah adanya hukuman uang pengganti. Uang Pengganti (UP) merupakan pidana tambahan. Besaran uang pengganti ditentukan dalam amar putusan majelis hakim.

Dasar hukum pemberian sanksi uang pengganti diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)

Dalam ayat (1) pasal tersebut diatur, selain pidana tambahan sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan sebagai pidana tambahan dalam UU Tipikor adalah perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

Pembahasan penjatuhan pidana uang pengganti terhadap korporasi yang terlibat korupsi tentu erat kaitannya dengan pemahaman terhadap pengertian tindak pidana korupsi itu sendiri dan jenis-jenisnya sebagaimana yang diatur di dalam UU Tipikor.

Dari pengertian dan jenis-jenis tindak pidana korupsi tersebut dapat dipahami pada jenis yang mana kecenderungan korporasi dan modus korporasi dapat terlibat dalam kasus korupsi.

Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang melibatkan korporasi dan/atau orang-orang di dalam korporasi itu, dan/atau oleh pegawai / karyawannya, staf, dan/atau pengurus (direksi), pengawas (komisaris), dan termasuk para pemegang saham (shareholders / stockholder) dari korporasi. Contoh: penetapan harga, korupsi, pembuangan limbah, dan lain-lain, sering kali dikenal sebagai kejahatan kerah putih.

Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana pembayaran uang pengganti tanpa kesalahan korporasi namun kesalahan itu melekat pada pengurusnya. Salah satu konsep dalam hukum lingkungan yaitu asas ”Pencemar yang Membayar”, artinya dalam konsep penerapan uang pengganti semestinya berpedoman pada penerapan konsep pertanggungjawaban absolut. Itu juga diartikan terdakwa serta merta menanggung akibat perbuatan pidana tersebut.

Harus bisa dibedakan antara perbuatan oknum pengurus dan/atau perbuatan korporasi. Hasil kejahatan bukan saja dinikmati oleh pengurus tetapi juga dinikmati oleh korporasinya.

Jika korporasi turut diperkaya oleh pengurus (pelaku) maka korporasi itu harus dijatuhi pidana uang pengganti untuk memulihkan kerugian negara. Namun jika korporasi tidak ikut menikmatinya maka korporasi tersebut tidak bisa dikenakan pidana tambahan tersebut.

Diharapkan agar para hakim pengadilan sebaiknya mengacu pada konsep penjatuhan pidana korupsi-korporasi di masa akan datang dengan konsep vicarious liability, sehingga meskipun korporasi bukan sebagai terdakwa melainkan pengurusnya, korporasi tidak dijatuhkan pidana pokok (denda) melainkan kepada pengurusnya.

Tapi korporasi berdasarkan pembuktian (minimal dua alat bukti ditambah keyakinan hakim) ternyata terbukti turut terlibat digunakan sebagai instrumenta delicti, dan/atau menikmati hasil korupsi dan/atau diperkaya oleh pengurusnya dari hasil korupsi, maka korporasi tersebut harus dijatuhi sanksi (hukuman) berupa pidana uang pengganti, jadi harus meliputi sanksi pidana (straf) dan sanksi tindakan (maatregel).

Konsep vicarious liability ini perlu ditegaskan pedoman pemidanaannya bagi hakim-hakim pengadilan dalam rangka memberikan rasa keadilan bagi korban korupsi (masyarakat dan negara) di masa yang akan datang daripada hakim hanya bergantung pada hukum acara pidana yang kaku. ***

 

Penulis adalah Kepala Kejaksaan Negeri Binjai, Sumatera Utara

NB: Tulisan ini adalah sebagian dari Disertasi penulis untuk diajukan dalam sidang terbuka Meraih Gelar Doktoral Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *