Moral Call: Kemewahan Seorang Leader

Oleh : Hamdan Budiman
Jurnalis

Kemewahan sering kali kita bayangkan sebagai rumah besar, harta berlimpah, atau fasilitas hidup yang serba mudah. Namun bagi seorang pemimpin sejati, kemewahan tidak diukur dari apa yang tampak di luar. Kemewahan seorang leader justru lahir dari panggilan moral—moral call—yang membuat dirinya berbeda dari orang kebanyakan.

Menjadi pemimpin berarti siap menanggung beban yang tidak ringan. Ada jutaan harapan yang dititipkan, ada banyak nasib yang bergantung pada setiap keputusan. Di titik inilah panggilan moral menjadi kemewahan: karena tidak semua orang sanggup menolak godaan kepentingan pribadi, tidak semua orang berani berdiri tegak ketika kebenaran menuntut pengorbanan.

Kemewahan seorang leader tampak ketika ia berani berkata jujur meski risikonya besar. Ia tidak takut kehilangan popularitas demi menjaga nuraninya. Pemimpin yang demikian memahami bahwa kepercayaan lebih berharga daripada pujian, dan integritas lebih kuat daripada kekuasaan.

Lebih dari itu, moral call menjadikan seorang pemimpin memiliki kerendahan hati untuk mendengar. Di balik suara keras ambisi dan kebisingan kekuasaan, ia memilih menajamkan telinga pada suara hati dan suara orang-orang yang dipimpinnya. Mendengar dengan empati adalah kemewahan yang tidak semua pemimpin punya, sebab dari situlah lahir kebijakan yang benar-benar membawa kebaikan.

Kemewahan sejati seorang leader juga ada pada kesediaannya memikul tanggung jawab. Tidak hanya saat berhasil, tetapi juga saat gagal. Ia tidak bersembunyi di balik alasan atau mencari kambing hitam, melainkan berdiri di depan untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya. Tindakan sederhana ini justru meninggalkan jejak kepemimpinan yang abadi.

Sejarah memberi kita banyak teladan tentang kemewahan moral seorang pemimpin. Nelson Mandela, misalnya, memilih jalan rekonsiliasi ketimbang balas dendam setelah keluar dari penjara 27 tahun. Padahal ia punya semua alasan untuk membenci. Namun, panggilan moralnya lebih besar: ia ingin rakyatnya hidup damai, bukan terjebak dalam lingkaran dendam.

Demikian pula Bung Hatta, proklamator Indonesia, yang hidup sederhana bahkan sampai wafat tidak meninggalkan banyak harta. Ia percaya bahwa pemimpin sejati harus lebih kaya dalam integritas dan ketulusan, bukan dalam kekayaan materi.

Pada akhirnya, seorang pemimpin boleh memiliki segalanya—jabatan tinggi, fasilitas melimpah, dan kekuasaan besar. Namun, bila semua itu tidak dibarengi panggilan moral, maka ia hanyalah bayangan tanpa jiwa.

Kemewahan seorang leader bukan terletak pada apa yang ia miliki, melainkan pada bagaimana ia menjalani kepemimpinan dengan hati yang bersih, integritas yang kokoh, dan keberanian untuk setia pada kebenaran.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *