Oleh Dr. Teuku Zulkhairi
Mudir Ma’had Aly Babussalam Al-Hanafiyyah Matangkuli dan Wakil Ketua Majelis Akreditasi Dayah Aceh (MADA)
Bersama 30 orang Mudir dan wakil Ma’had Aly se Indonesia, kami berkesempatan mempelajari lembaga pendidikan Islam tradisional di Maroko yang disebut dengan “Madrasah Ta’lim ‘Atiq” atau lebih singkat yaitu “Ta’lim ‘Atiq”.
Setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari para pimpinan Ta’lim ‘Atiq ini, saya menyebut bahwa Ta’lim ‘Atiq ini adalah dayah atau pesantrennya umat Islam di Maroko.
Hal itu karena keselarasan eksistensi antara Dayah dan Ta’lim ‘Atiq, baik secara fungsi, model Pembelajaran, kurikulum, sejarah hingga tujuan.
Kedatangan para Mudir dan wakil Mudir Ma’had Aly se Indonesia ke Maroko ini merupakan Kerjasama Kementerian Agama Republik Indonesia dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dengan Institut Darul Hadis Al-Hasaniyyah Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko yang merupakan institusi pendidikan Islam tertua di dunia .
Seluruh Mudir dan wakil Ma’had Aly se Indonesia yang menjadi peserta program ini lulus mengikuti program ini berdasarkan seleksi ketat yang diselenggarakan oleh Kementerian Republik Indonesia.
Seleksi ditampilkan baik menulis esai, membaca kitab hingga wawancara dalam Bahasa Arab. Saya pribadi sangat bersyukur bisa mengikuti program ini yang diselenggarakan selama bulanan dan berpusat di Institut Darul Hadis Al-Hasaniyyah Universitas Al-Qarawiyyin di Rabat, Ibukota Maroko.
Saya bersyukur karena informasi dan wawasan yang saya peroleh dari program ini sangat penting dalam rangka membantu memperkuat eksistensi Ma’had Aly Babussalam khususnya, serta membantu memperkuat eksistensi dayah di Aceh umumnya dalam status saya sebagai Wakil Ketua Majelis Akreditasi Dayah Aceh (MADA).
Saya sendiri oleh para guru saya di Dayah Babussalam Al-Hanafiyyah Matangkuli Aceh Utara diamanahkan sementara waktu untuk menjadi Mudir Ma’had Aly Babussalam sampai lembaga ini dapat dikelola secara meyakinkan oleh para guru Dayah Babussalam lainnya.
Selama di Maroko, kami menerima ulasan lebar dari setidaknya tiga pemimpin Ta’lim ‘Atiq di negeri yang dikenal juga dengan sebutan Negeri Maghribi ini.
Selain itu, kami juga mengunjungi Universitas Al-Qarawiyyin Pusat di Fez dan melihat langsung bagaimana Universitas Islam tertua di dunia menjaga dan merawat naskah klasik serta menjadikan Masjid Al-Qarawiyyin sebagai pusat studinya.
Universitas Al-Qarawiyyin ini telah melahirkan banyak ulama legendaris seperti Ibnu Khaldun, Al-Sharif Al-Tilmisani, Lisan Al-Din Ibnu Al-Khatib, Ibnu Al-Qadi, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Di situs resminya, Universitas ini mendeklarasikan dirinya sebagai benteng yang menjaga dan menyebarkan paham Mazhab Maliki, Tasauf Sunni dan Akidah Asy’ariyah.
Nah, berdasarkan banyak penjelasan yang kami simak, keberadaan Universitas Al-Qarawiyyin ini telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan sistem pendidikan Islam, termasuk pengaruhnya terhadap berdirinya madrasah-madrasah lain di Maroko.
Salah satunya adalah Madrasah Ta’lim ‘Atiq, sebuah lembaga pendidikan yang juga memiliki fokus pada pengajaran agama dan studi klasik yang dalam hal ini kita sebut sebagai “dayahnya Maroko”.
Jadi, ketika kita berbicara tentang Madrasah Ta’lim ‘Atiq di Maroko, maka ia pasti sudah memiliki hubungan yang erat dengan Universitas Al-Qarawiyyin, baik dari segi tradisi intelektual maupun sistem pengajaran.
Sebab, Ta’lim ‘Atiq yang secara Bahasa berarti “pengajaran tradisional” ini mengambil banyak inspirasi dari metode pengajaran di Al-Qarawiyyin, seperti pembelajaran berbasis halaqah dan fokus pada kajian kitab turats dimana hal ini sama bertahan denga napa yang kita lihat di pesantren di nusantara atau dayah dalam konteks Aceh.
Kami mendapatkan informasi bahwa banyak pengajar di Madrasah Ta’lim ‘Atiq di Maroko merupakan alumni Universitas Al-Qarawiyyin, yang meneruskan tradisi keilmuan tersebut.
Keduanya berperan penting dalam menjaga warisan intelektual Islam di Maroko, dengan Al-Qarawiyyin sebagai pusat keilmuan tingkat tinggi, sementara Madrasah Ta’lim ‘Atiq menjadi pilar pengajaran pada tingkat dasar hingga menengah yang eksis di seantaro bumi Maghribi.
Madrasah Ta’lim ‘Atiq di Maroko sepenuhnya dikelola oleh seorang faqih (ulama) yang berperan sebagai pendidik (murabbi) dan pengajar (mu’allim), dengan mengandalkan kerangka hukum serta aturan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun.
Selain itu, berdasarkan keterangan Syaikh Syukur Khalid dari salah satu pengajar di Madrasah Ta’lim ‘Atiq Iddaoumnou, ia mengatakan bahwa keberadaan seorang Faqih yang menjadi pimpinan Madrasah Ta’lim ‘Atiq Iddaoumnou, selain berperan sebagai pendidik dan pengajar, juga berfungsi sebagai muslih ( penyelesai masalah sosial), yang mengakhiri gangguan antara masyarakat, baik dari dalam suku maupun luar suku.
Selain itu dikatakan juga bahwa seorang pimpinan Ta’lim ‘Atiq di Maroko selalu berusaha memenuhi kebutuhan dasar para santri dan membantu mereka yang miskin serta membutuhkan bantuan.
Sekedar informasi, bahwa biaya pendidikan di Maroko seluruhnya gratis di semua jenjangnya. Baik di Ta’lim ‘Atiq maupun sampai Universitas.
Dan sekedar informasi juga bahwa terdapat banyak pelajar Indonesia yang belajar di berbagai Madrasah Ta’lim ‘Atiq di Maroko, termasuk di Madrasah Ta’lim ‘Atiq Iddaoumnou ini yang menandakan eksistensi kuat Madrasah Ta’lim ‘Atiq secara global.
Eksistensi kuat Ta’lim di Maroko ini tentu saja juga ditandai dengan banyaknya santri yang datang dari berbagai daerah di Maroko serta banyaknya lulusan madrasah yang tersebar di berbagai wilayah di Maroko.
Secara kurikulum, untuk Pelajaran agama, setidaknya lebih dari dua puluh mata pelajaran agama Islam diajarkan di madrasah-madrasah Ta’im ‘Atiq yang masih terus berlangsung.
Ketika menjelaskan tentang kurikulum Madrasah Ta’lim ‘Atiq, Syaikh Syukur Khalid membaca sebuah nazam/Sya’ir yang terdiri dari empat baris dalam Bahasa Arab yang artinya sebagai berikut : “Tafsir Al-Qur’an dan sirah Rasul, Matan hadis beserta ilmu dasarnya . Ilmu fikih, waris, akidah, dan nasab, Nahwu, sharaf, bahasa, serta kesusastraan. Kemudian balaghah, ma’ani, ‘arudh, Ilmu bintang, logika, dan ilmu hisab untuk faraid.
Selain itu, Madrasah Ta’lim ‘Atiq di Maroko juga sangat fokus pada program Penghafalan Al-Qur’an. Menghafal Al-Qur’an dengan riwayat Warsh tentang Nafi’ sesuai dengan kaidah-kaidah dan metode yang membedakan para ahli qiraat di Maroko dalam hal hafalan, penulisan, pengaturan, dan jeda, sambil memahami variasi riwayat lainnya.
Begitu juga dengan penguasaan matn-matn Syari’ah dan Bahasa. Menanggapi penguasaan teks-teks utama dalam ilmu-ilmu syariat dan bahasa. Selain itu, dalam proses pembelajarannya, Madrasah Ta’lim ‘Atiq di Maroko juga senantiasa berupaya melakuan proses Integrasi penanaman Ilmu dan nilai dengan cara menggabungkan penyemaian pengetahuan dengan penanaman nilai-nilai moral serta pembentukan perilaku yang baik, baik dalam ucapan maupun tindakan.
Dalam proses pembelajarannya, menurut Syaikh Khalid Syukur, mereka menggunakan sumber-sumber Madzhab Maliki sebagai dasar konten pendidikan dalam pengajaran ilmu-ilmu syariat.
Sementara karya-karya utama juga diajarkan kepada para santri seperti Matn Ibnu ‘Asyar, Muwaththa’ Imam Malik, Al-Risalah karya Ibnu Abi Zayd al-Qayrawani, Al-Khalil dan sebagainya.
Madrasah Ta’lim ‘Atiq di Maroko dewasa ini telah mengadopsi kurikulum baru yang disesuaikan dengan tantangan zaman, seperti keterbukaan global dan perkembangan teknologi, terutama dalam bidang komunikasi.
Pada tahun ajaran 2008/2009, madrasah ini mulai mengimplementasikan kurikulum baru yang diterapkan oleh kementerian pendidikan untuk merehabilitasi Madrasah Ta’lim ‘Atiq dan tempat-tempat pengajaran Al-Qur’an.
Para ulama di Maroko menyetujui perubahan tersebut, dengan mempertimbangkan bahwa beberapa aspek penting dari pendidikan tradisional harus tetap dipertahankan, sementara pelaksanaan baru memberikan ruang untuk pengembangan dan pemanfaatan sumber daya yang ada tanpa mengabaikan warisan keilmuan yang ada. Kurikulum baru ini mencakup ilmu-ilmu yang kini menjadi kebutuhan mendesak dan tak bisa diabaikan.
Di sisi lain, eksistensi Madrasah Ta’lim ‘Atiq di Maroko ini kian penting dalam menjaga Maroko dari serbuan budaya Barat khususnya budaya Prancis dan Spanyol. Kami mendapati banyak sekali generasi muda Maroko yang tidak lancar berbahasa Arab Fusha, padahal mereka adalah orang Arab. Di sisi lain, mereka sangat lancar berbicara Bahasa Prancis dan Bahasa Darija sebagai Bahasa lokal mereka. Padahal, bahasa Arab adalah bahasa resmi pertama, sedangkan bahasa Prancis adalah bahasa resmi kedua.
Maka dalam konteks ini, keberadaan Madrasah Ta’lim ‘Atiq di Maroko tidak hanya berperan dalam merawat dan menjadi benteng Islam bagi umat Islam di Maroko, tetapi juga menjadi lembaga yang menjaga bahasa Arab khususnya dan Kebudayaan Maroko pada umumnya.