Banda Aceh (Beritapesona.com) ‒ Setoran gelap tambang ilegal di Aceh mencapai Rp 360 miliar per tahun, mengalir ke kantong oknum aparat dan pemodal. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, mengultimatum agar seluruh alat berat angkat kaki dari hutan dalam dua minggu. Pertanyaannya: apakah titah Mualem sanggup membungkam mafia tambang yang telah berurat-akar, atau justru menjadi gema yang tenggelam di tengah deru ekskavator.
Rapat paripurna DPR Aceh, Kamis (25/9/2025), mendadak menjadi panggung yang menegangkan. Panitia Khusus (Pansus) Minerba dan Migas membeberkan temuan mencengangkan: praktik setoran uang keamanan dari pemilik ekskavator tambang ilegal kepada oknum aparat. Nilainya fantastis—sekitar Rp 30 juta per unit per bulan.
Dengan 1.000 ekskavator yang beroperasi di 450 titik tambang ilegal, jumlahnya tembus Rp 360 miliar per tahun.
Temuan ini bukan hanya membuka aib, tapi sekaligus menegaskan adanya jaringan mafia tambang yang beroperasi sistematis, melibatkan pemodal, pengusaha, bahkan penegak hukum. “Kondisi alam Aceh hancur, rakyat tidak mendapatkan apa-apa, tapi uang haram beredar lancar,” ujar Sekretaris Pansus, Nurdiansyah Alasta.
Ultimatum Gubernur Mualem, Mafia Tambang Bukan Lawan Mudah
Di tengah paparan yang memanas, Gubernur Aceh Muzakir Manaf—akrab disapa Mualem—akhirnya bersuara lantang. Ia mengeluarkan ultimatum keras: tambang emas ilegal harus dihentikan, alat berat harus segera ditarik keluar dari hutan Aceh.
“Khusus tambang emas ilegal, saya beri amaran waktu. Mulai hari ini, seluruh alat berat harus keluar. Jika tidak, setelah dua minggu, pemerintah siap tindak tanpa ampun,” ucap Mualem dengan nada menggelegar.
Janji itu menjadi sorotan publik. Bukan hanya karena isinya, tetapi juga karena siapa yang mengucapkan: seorang mantan panglima perang yang kini duduk sebagai kepala pemerintahan Aceh.
Namun, pertanyaan besar muncul: mampukah ultimatum itu benar-benar dijalankan? Fakta di lapangan menunjukkan, mafia tambang sudah berurat-akar. Mereka punya jaringan modal kuat, akses politik, hingga perlindungan dari oknum aparat. Setoran Rp 360 miliar per tahun bukan angka kecil, ia adalah bahan bakar yang menjaga mesin mafia tetap menyala.
Pengalaman selama ini memperlihatkan, penertiban tambang ilegal sering hanya menjadi operasi sesaat. Ekskavator bisa saja ditarik keluar untuk sementara, tapi beberapa minggu kemudian, suara mesin kembali meraung di hutan.
Janji Penataan dan Legalitas: Dua Minggu Penentuan
Meski begitu, Mualem berusaha menegaskan arah baru. Ia berjanji akan mengeluarkan Instruksi Gubernur tentang penertiban tambang ilegal, serta membuka peluang agar tambang bisa dikelola secara legal oleh koperasi desa atau BUMD kabupaten/kota. Skema ini dimaksudkan untuk menutup celah mafia dan memastikan hasil tambang benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat Aceh.
Selain emas, Pemerintah Aceh juga tengah mengurus 1.630 sumur minyak ilegal di empat kabupaten: Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, dan Bireuen. Mualem mengatakan legalisasi tambang rakyat adalah langkah yang realistis untuk mengurangi praktik ilegal yang merugikan daerah.
Ultimatum Gubernur Mualem kini menjadi ujian serius. Bagi rakyat Aceh, dua minggu ke depan adalah waktu penentuan: apakah pemerintah benar-benar berani membongkar jaringan mafia tambang, atau sekadar memberi peringatan yang tak bertaji.
Jika Mualem berhasil, ia akan mencatat sejarah sebagai gubernur pertama yang menindak tegas mafia tambang. Namun jika gagal, kepercayaan publik akan runtuh, dan suara ultimatum itu hanya akan dikenang sebagai gema yang tenggelam di tengah deru ekskavator yang terus merusak hutan Aceh.
Pada akhirnya, pertanyaan ini menggantung di udara Aceh:
Apakah titah Mualem benar-benar sebuah perang melawan mafia tambang, atau hanya sekadar retorika politik di ruang paripurna? Seperti halnya Barcode. [hb]