Cincin Berlian di Jari Manis: Kisah Oknum Wartawan dan Misteri di Hutan

Ilustrasi, hikayat" siswi SD negeri di pelosok pedalaman dan cicin berlian di jari manis

PEKANBARU (BERITA) – Sore itu, di sebuah sudut hotel, pada sebuah restauran, di sepuran Jalan Sudirman ujung, Pekanbaru, seorang wartawan senior mengangkat cangkir kopinya dengan tangan kiri.

Di jari manisnya, sebutir batu bening mencuri perhatian. Berlian, seharga Rp2 miliar.
Teman yang menemuinya hari itu juga seorang wartawan, mengaku tak bisa melupakan kilauan itu.

Bukan cuma karena harga cincinnya fantastis, tapi karena si empunya, yang berinisial OM, tidak jelas berasal dari media mana. “Kalau gaji kita ibarat kopral, dia itu jenderal,” guman wartawan itu, Rabu (25/6/2025).

Wartawan biasanya dikenal karena kamera, pulpen, dan sepatu yang aus oleh medan. Tapi OM bukan wartawan biasa. Jas yang licin, mobil mentereng, dan lingkaran pengaruhnya meluas ke kawasan hutan yang seharusnya dijaga, bukan dikuasai.

Rubicon di Tengah Hutan

Dari kilau cincin, perhatian publik lalu terarah ke Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), sebuah benteng terakhir ekosistem gajah Sumatera yang kian menyempit. Pada Senin, 23 Juni 2025, sebuah mobil Jeep Rubicon terekam kamera saat hadir dalam aksi doa bersama warga di Desa Bukit Kesuma, Pelalawan, di jantung kawasan yang seharusnya steril dari aktivitas manusia.

Mobil  mewah seharga miliaran itu tampak mencolok di tengah tanah tak beraspal. Tak ada yang tahu pasti milik siapa. Tapi banyak yang menduga, itu kendaraan salah satu penguasa lahan di kawasan konservasi. “Diduga seperti itu,” ujar Harla Nursyahra, Humas Balai TNTN.

Balai mengaku belum tahu siapa pemilik Rubicon, tapi publik curiga. Di TNTN, mobil mewah, cincin berlian, dan penguasaan lahan sering berasal dari satu sumber, konversi hutan jadi kebun sawit.

Mafia Tanah Berbaju Wartawan?

Dari Jakarta, laporan yang lebih serius dilayangkan ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Ormas Pemuda Tri Karya (PETIR), menyerahkan dokumen setebal 26 halaman yang mencantumkan 125 nama pemilik 173 Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR).

Total luas lahan yang dikuasai secara ilegal, 574,78 hektare.

Paling menonjol adalah nama OM yang disebut-sebut sebagai mantan bendahara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau. Dalam laporan PETIR, OM tak sendiri.

Ada sederet nama-nama lain, sebagian besar berprofesi sebagai wartawan senior di Pekanbaru.

“Ada kebun sawit berusia tujuh tahun di sana. Tapi tak ada sepeser pun Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dibayarkan ke negara,” kata Jackson Sihombing, Ketua Umum PETIR.

“Kerugian negara bisa lebih dari Rp20 miliar,” sambungnya.

PETIR tidak menuduh profesi.

Mereka hanya menyodorkan nama dan bukti. Bahwa dalam beberapa kasus, profesi wartawan menjadi kedok untuk aktivitas perambahan yang terstruktur dan sistematis.

Cincin Berlian di Atas Abu

Tesso Nilo awalnya seluas 81.739 hektare, kini hanya tersisa sekitar 20.000 hektare.

Sisanya sudah ditanami sawit, atau berubah jadi pemukiman. Balai TNTN dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) berupaya menertibkan, tapi sebagian nama yang harus ditindak, ironisnya, sering tampil di konferensi pers atau menulis opini tentang “penegakan hukum.”

Di atas lahan yang semestinya jadi rumah bagi gajah Sumatera, kini tumbuh kelapa sawit. Dan di jari orang-orang yang dulu menulis tentang konservasi, kini melingkar cincin berlian yang menyilaukan.

Kehilangan Kompas Moral

Kasus ini membuka luka lama tentang peran ganda wartawan. Bukan lagi sebagai pengawas publik, tapi sebagai pelaku.

Di Riau, banyak yang bergumam sinis, “Media kadang hanya formalitas. Yang penting suratnya hidup, bisa bawa proposal.” Tak jarang wartawan beribu status sosial di pundaknya, dia pemilik media, dia wartawan, dan dia juga ketua ormas atau LSM.

Pokoknya, serba dia dan sesuka hari perut dia.

Sejumlah wartawan diam-diam mengaku malu. Mereka yang menjaga integritas, kini harus memikul beban kolektif, dipandang satu kubu dengan para “wartawan-pengusaha lahan”. Organisasi profesi ikut tercoreng.

Diam yang Membunuh Hutan

Sampai berita ini terbit, OM belum bisa dimintai tanggapan. Nomor ponselnya tidak aktif. Rumahnya di Jalan Tulip, Pekanbaru, yang tercantum dalam dokumen PPTKH (permohonan pemutihan lahan hutan), sepi.

Tapi bukan hanya dia yang diam. Beberapa organisasi wartawan juga belum bersuara. Entah karena loyalitas lama, atau karena sebagian dari mereka juga punya lahan di dalam kawasan.

Sementara itu, gajah-gajah Sumatera makin terjepit. Mereka berlarian di batas kebun, mencoba bertahan dari ruang hidup yang dirampas demi cincin, Rubicon, dan sawit yang manis hasilnya. (RK1)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *