Beritapesona.com | Jakarta, 28 Juli 2025 — Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan tegas dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanganan Karhutla yang di gelar oleh BNPB secara Daring, bahwa sebagian besar wilayah Indonesia—terutama di Sumatera dan Kalimantan—akan menghadapi puncak musim kemarau pada Agustus 2025.
Dalam situasi ini, potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) diperkirakan meningkat drastis, dengan wilayah prioritas mencakup Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Berdasarkan analisis curah hujan dasarian (10 harian), sebagian besar wilayah Riau, Jambi, dan Kalimantan masih berada dalam kategori curah hujan rendah hingga awal Agustus.
Peta potensi kemudahan kebakaran (Fire Danger Rating System/FDRS) menunjukkan dominasi warna merah, yang menandakan tingkat kemudahan lahan untuk terbakar sangat tinggi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa lahan bisa terbakar secara alami, bahkan tanpa pemantik eksternal.
Kepala BMKG menegaskan, meskipun hujan sempat turun sebagai hasil dari operasi modifikasi cuaca (OMC) pada pekan lalu, dampaknya tidak bersifat jangka panjang.
“Warna Merah kembali muncul. Artinya, efek OMC sudah mulai menurun, dan kondisi cuaca aslinya kembali mendominasi,” jelasnya.
Dalam paparan visual prakiraan pembentukan awan hujan harian, wilayah kritis seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan menunjukkan rendahnya potensi pertumbuhan awan.
Mayoritas wilayah terlihat dalam warna kuning dan oranye—menandakan awan tidak berkembang secara maksimal.
Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, turut mengapresiasi sinergi BMKG dan BNPB dalam pelaksanaan OMC.
Menurutnya, OMC telah menjadi instrumen penting pencegahan karhutla yang berbasis data dan bukan sekadar eksperimen.
“Ini penting ya, kita punya OMC yang semakin baik di bawah arahan Ibu Kepala BMKG untuk menentukan tadi di mana potensi awan yang ada, kapan kemudian OMC dilakukan bersama dengan teman-teman dari BNPB,” ujar Menteri Kehutanan.
Ia menekankan, keberhasilan OMC tidak hanya bergantung pada aspek teknis seperti penyemaian garam, tapi terutama pada ketepatan waktu dan lokasi, yang ditentukan oleh analisis cuaca presisi dari BMKG.
Kolaborasi ini memungkinkan tindakan cepat sebelum api meluas, terutama di wilayah-wilayah rawan yang sulit dijangkau melalui jalur darat.
BNPB dalam laporannya menyebutkan, hingga pertengahan tahun ini telah terjadi 278 kejadian karhutla.
Di Riau, operasi terpadu yang melibatkan TNI, Polri, dan relawan—dengan dukungan OMC dan helikopter water bombing—berhasil menekan eskalasi, meski situasi belum sepenuhnya aman.
Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto menekankan pentingnya koordinasi lintas instansi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Ia menyatakan bahwa keberhasilan penanganan karhutla bukan semata soal jumlah personel atau peralatan, tapi bagaimana semua pihak bekerja serempak, cepat, dan terorganisir.
“Walaupun sudah ada kebakaran di mana-mana, kalau kita bekerja bersatu padu, saya kira itu bisa segera diatasi. Contohnya seperti di Riau kemarin, semua unsur bergerak serentak. Langkah-langkahnya tidak perlu saya uraikan satu per satu, tapi pendekatan itu akan kita terapkan juga di wilayah lain jika kondisinya serupa,” tegas Suharyanto.
BMKG kembali mengingatkan bahwa musim kemarau diperkirakan akan berlangsung hingga September, dan musim hujan baru akan mulai masuk pada Oktober. Artinya, dua bulan ke depan adalah fase kritis yang membutuhkan koordinasi total lintas lembaga.
“Musim hujan belum datang. OMC bukan jaminan. Kuncinya adalah patroli ketat, deteksi dini, dan pemadaman cepat,” tegas Kepala BMKG.
Sebagai penutup, BMKG mendorong pemanfaatan data iklim dan prediksi cuaca ekstrem secara strategis. Gubernur dan kepala daerah diminta untuk rutin memantau laporan BMKG sebagai dasar dalam pengambilan keputusan—mulai dari pelaksanaan OMC, pengerahan pasukan darat, hingga edukasi masyarakat.
Dalam konteks ini, Kepala BMKG juga menekankan pentingnya kesiapsiagaan di tingkat daerah dan partisipasi aktif masyarakat dalam mengantisipasi risiko karhutla.