LHOKSUKON (BERITA) – Langkah politik yang dilakukan Anggota Komisi III DPRA dari Fraksi Partai Aceh, Hj. Salmawati, SE.MM, yang menemui langsung Menteri Agama RI di Jakarta dalam rangka mengusulkan penguatan Syariat Islam di Aceh, menuai beragam tanggapan dari tokoh masyarakat Aceh. Salah satunya datang dari aktivis sosial dan pemerhati kebijakan publik Aceh, Teuku Saifuddin Alba alias Ampon Blang.
Menurut Teuku Saifuddin Alba, langkah yang dilakukan oleh Hj. Salmawati secara personal tersebut dinilai kurang tepat dalam konteks penyusunan dan penegakan regulasi daerah yang berbasis Syariat Islam. Ia menilai, persoalan fundamental seperti penguatan Syariat Islam seharusnya terlebih dahulu dibahas secara terbuka dan bermartabat di tingkat lokal, melalui mekanisme musyawarah yang melibatkan semua unsur penting di Aceh.
“Saya sangat menghormati niat beliau yang ingin memperkuat pelaksanaan Syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah ini. Tapi mestinya, jangan langsung ke pusat. Ini bukan persoalan kecil. Harus dimusyawarahkan terlebih dahulu di tingkat DPRA bersama ulama, tokoh adat, akademisi, Gubernur Aceh, MPU, dan Dinas Syariat Islam. Jika perlu, libatkan masyarakat sipil,” tegas Teuku Saifuddin dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/8/2025) di Aceh Utara.
Ia menambahkan bahwa Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki kekhususan dalam penerapan Syariat Islam, dan hal itu menjadi simbol identitas serta kehormatan masyarakat Aceh. Maka dari itu, penguatan pelaksanaannya harus melibatkan kebijaksanaan kolektif dan tidak boleh dilakukan secara sepihak atau simbolik.
“Jangan sampai niat baik berubah jadi bumerang politik. Kita tidak ingin penguatan syariat hanya dijadikan komoditas wacana untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, tanpa melibatkan elemen utama masyarakat Aceh sendiri,” tambahnya.
Menurutnya, persoalan penguatan Syariat Islam di Aceh tidak bisa hanya dibahas dalam pertemuan tertutup dengan menteri, karena menyangkut wajah daerah, peradaban lokal, serta harmoni sosial yang telah terbentuk sejak lama. Ia menyarankan agar DPRA menggelar forum resmi atau rapat dengar pendapat dengan berbagai unsur penting di Aceh guna merumuskan langkah yang konkret, terukur, dan disepakati bersama.
Teuku Saifuddin juga mengingatkan agar setiap langkah penguatan Syariat Islam jangan hanya bersifat seremonial atau retorika politis, tapi harus menyentuh akar persoalan yang terjadi di masyarakat.
Misalnya, meningkatnya kasus moral di kalangan generasi muda, konten-konten media sosial yang merusak nilai-nilai Islam, hingga lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun.
“Kalau kita memang serius memperkuat syariat, mari mulai dari bawah. Perkuat peran keluarga, sekolah, masjid, serta pengawasan terhadap pelanggaran akhlak. Pemerintah daerah juga harus tegas dan konsisten dalam implementasi Qanun,” ujarnya.
Menutup pernyataannyah, Ia mengharapkan agar DPRA tidak lagi mengulang pola komunikasi politik yang bersifat elitis, namun mulai membuka ruang dialog dan musyawarah yang terbuka dengan rakyat. Menurutnya, kekuatan Aceh terletak pada kebersamaan, bukan pada langkah-langkah sepihak yang bisa memicu salah tafsir di kalangan masyarakat.
“Syariat Islam adalah marwah Aceh. Jangan jadikan isu ini sebagai alat pencitraan politik. Mari duduk bersama dan bahas dengan kepala dingin, demi masa depan Aceh yang lebih Islami, adil, dan bermartabat,” tutupnya. (rls/ybs/ops/mi)