Lengsernya Sang Penerus Dinasti Jidat Hitam

ACEH BESAR – Ia tak lahir dari rahim partai. Tak pernah mencicipi pilkada. Tapi tiga kali menjabat sebagai Penjabat (Pj) Bupati Aceh Besar. Nama Muhammad Iswanto bukan sekadar birokrat. Ia adalah simbol kekuasaan yang dibentuk dari jaringan, diselubungi pencitraan, dan dibentengi dengan buzzer yang agresif. Kini, kekuasaan itu surut. Dan luka yang dulu ditutup rapi mulai bernanah di ruang publik.

Iswanto resmi dicopot dari jabatan terakhirnya sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Aceh sejak 17 Juni 2025, menyusul perubahan struktur besar-besaran di bawah Pj Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem). Tapi pencopotan itu bukan sekadar urusan administratif. Ia mengakhiri era panjang kendali Iswanto yang disebut-sebut sebagai perpanjangan tangan Bustami Hamzah, mantan Pj Gubernur Aceh sekaligus calon gubernur gagal di Pilkada 2024 lalu.

Bacaan Lainnya

> “Ini bukan mutasi biasa. Ini amputasi politik,” kata seorang pejabat Pemprov yang tak ingin namanya dicantumkan.

Saudara Dekat Lebih Berkuasa dari Sekda

Selama menjabat, Iswanto membangun lingkaran dalam yang jauh lebih berpengaruh daripada struktur resmi. Seorang saudara dekatnya, bukan ASN, bukan pejabat formal, disebut-sebut memiliki kekuasaan informal yang bahkan melampaui Sekretaris Daerah. Ia kerap mengatur siapa yang bisa mendapatkan proyek, siapa yang berhak menerima dana publikasi, dan bahkan siapa yang harus disingkirkan dari jabatan.

> “Kalau dia tidak setuju, nama Anda hilang dari SK,” ujar sumber internal Pemkab.

Di lingkaran dalam ini pula Iswanto merekrut staf khusus nonstruktural. Sebagian besar bukan warga Aceh Besar. Beberapa berasal dari kalangan aktivis LSM dan jurnalis yang dulu vokal mengkritik pemerintah, tapi kini berbalik arah. Mereka diberi posisi strategis tanpa tanggung jawab struktural, namun memainkan peran kunci dalam strategi komunikasi dan pengendalian opini.

Pencitraan dan Pembungkaman

Di tangan stafsus-stafsus inilah dimulai fase baru pemerintahan Iswanto: pemerintahan berbasis pencitraan. Mereka mengatur agenda media, mengarahkan narasi di media sosial, bahkan menciptakan laporan-laporan keberhasilan fiktif untuk disebarkan secara masif. Yang mengganggu? Diberangus.

Buzzer digital pun dilibatkan. Mereka menyebarkan narasi pembelaan terhadap Iswanto dan menyerang siapa pun yang mengkritik. Jurnalis, pengamat, hingga aktivis desa tak luput dari sasaran. Beberapa diserang secara pribadi, difitnah sebagai “penyebar hoaks”, bahkan ada yang keluarganya diteror melalui telepon tak dikenal.

> “Saya hanya menulis soal APBK. Besoknya, muncul akun palsu yang menuduh saya sebagai ‘kaki tangan partai yang kalah’,” ujar seorang wartawan lokal.

Kejatuhan dan Pembenaran

Saat dikonfirmasi media pasca pencopotan, Iswanto menegaskan bahwa dirinya tengah fokus menuntaskan studi program doktoral (S3) di Jawa. Ia menyebut pergantian jabatan sebagai bagian dari dinamika karir ASN dan mengaku legowo menerimanya.

Namun narasi itu kontras dengan fakta di lapangan. Sepanjang menjabat, aktivitas S3 Iswanto tak pernah menghalangi dirinya mengendalikan proyek, mutasi ASN, bahkan komunikasi politik Pilkada. Banyak yang percaya, studi hanya dijadikan tameng saat kekuasaan mulai goyah.

Jabatan Jadi Alat Politik

Sejumlah ASN mengaku
selama masa kepemimpinan Iswanto, terjadi tekanan politik secara halus. Pemilu dan Pilkada 2024 menjadi ajang pengondisian birokrasi. “Ada arahan tersirat, siapa yang harus ‘diam’, siapa yang harus ‘bekerja’,” ujar seorang kepala bidang.

Hasilnya ironis. Bustami Hamzah, yang didukung penuh oleh jaringan ini, kalah dalam Pilkada. Prabowo–Mualem juga tumbang telak di Aceh Besar. Kekalahan yang diyakini sebagai buah dari “pengkondisian yang berlebihan” yang justru memunculkan perlawanan diam-diam di tubuh ASN sendiri.

Jejak KKN dan Proyek Siluman

Pemerintahan Iswanto juga diwarnai berbagai dugaan pelanggaran: dari proyek rumah sakit, pengadaan obat, hingga proses rekrutmen PPPK. Salah satu kepala dinas era pemerintahannya bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka. Beberapa kontraktor mengaku proyek dikondisikan untuk pihak-pihak tertentu, termasuk yang memiliki hubungan dekat dengan saudara dekat Iswanto.

> “Ada proyek yang disiapkan hanya untuk satu rekanan. Pengumuman hanya formalitas,” kata seorang pengusaha lokal.

Kini, sejumlah dokumen disebut sedang dikaji ulang oleh Kejaksaan Tinggi Aceh. Investigasi bisa meluas ke arah dana publikasi fiktif, manipulasi laporan kegiatan, dan belanja alat kesehatan. Tapi publik tahu, banyak yang sudah dibungkam.

Akhir dari Sebuah Pola

Iswanto mungkin telah turun dari panggung. Tapi pola kekuasaan yang ia tinggalkan masih terasa. Pencitraan sebagai metode, buzzer sebagai senjata, dan loyalitas tak berdasar sebagai standar promosi. Apakah ini akhir dari era penyesatan publik oleh birokrasi yang ‘berpendidikan tinggi tapi miskin integritas’?

Atau justru, seperti kata seorang ASN senior,

> “Yang turun hanya tokoh. Tapi sistemnya masih hidup, menunggu nama baru,” pungkas politisi lokal yang minta jangan disebut namanya. (Ery)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *