Langkah kaki saya terasa ringan namun hati bergetar hebat ketika memasuki Raudhah—sepetak tempat yang disebut Rasulullah sebagai taman dari taman-taman surga. Di sana, antara mimbar dan makam beliau, jutaan doa dari seluruh penjuru dunia bergema setiap hari.
Tapi hari itu, saya tidak hanya membawa doa formal atau daftar harapan duniawi. Saya membawa rindu.
Rindu kepada Rasulullah.
Rindu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata, hanya bisa dirasakan oleh hati yang berusaha meneladani, walau sering kali tertatih dalam amal.
Rindu kepada istri dan anak-anak di tanah air. Sebuah rasa yang diam-diam menyelinap dalam setiap sujud dan lirih doa.
Di tengah keramaian para peziarah dari berbagai negara, saya seperti menemukan keheningan yang sempurna untuk menyebut satu per satu nama orang-orang tercinta.
Sungguh, Raudhah adalah tempat di mana rindu menjadi ibadah, dan cinta menjadi munajat.
Sebagai anggota Tim Monev Haji, keberadaan saya di tanah suci pada dasarnya adalah bagian dari tugas negara. Tapi sesungguhnya, di Raudhah saya belajar bahwa semua tugas yang kita emban—jika diniatkan sebagai bentuk khidmah kepada umat—adalah jalan ibadah.
Menyimak keluhan jemaah, mencatat kendala layanan, bahkan menemani mereka yang tersesat arah atau kehilangan semangat, semuanya menjadi pengabdian yang bernilai tinggi jika dikerjakan dengan hati yang jujur.
Raudhah mengajarkan kepada saya bahwa spiritualitas bukan hanya terletak pada banyaknya ibadah ritual, tetapi pada kepekaan kita terhadap sesama. Di tempat Rasulullah ﷺ berdakwah, menangis, dan berdoa untuk umatnya, saya diingatkan: apakah kita sudah cukup jujur dalam melayani umat sebagaimana Rasul melayani dengan cinta yang tak kenal pamrih?
Saya ingin mengajak seluruh jemaah haji Indonesia 2025 untuk merenungkan betapa besar nikmat yang Allah berikan dengan terpilihnya kita menjadi dhuyufurrahman—tamu-tamu Allah.
Di antara ratusan ribu yang mendaftar, kita adalah yang berangkat. Maka, jangan hanya syukur dalam lisan.
Mari kita jaga niat, sabar dalam proses ibadah, dan saling menguatkan satu sama lain di tengah berbagai ujian fisik dan batin.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kenyamanan dan kelancaran ibadah haji kita tahun ini adalah buah dari ikhtiar panjang, terstruktur, dan penuh ketulusan dari para pemimpin kita.
Saya menyaksikan langsung bagaimana Amirul Hajj, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA., memimpin dengan keteladanan yang teduh dan penuh kebijaksanaan. Sosok beliau tidak hanya menjadi simbol kepemimpinan formal, tapi juga ruh moral dalam pelayanan haji kita.
Menag hadir bukan hanya di podium, tapi juga di tengah jemaah, membawa ketenangan dengan tutur, dan menggugah dengan nasihat.
Demikian pula jajaran Kementerian Agama RI yang bekerja siang dan malam—sebagian bahkan mengorbankan waktu bersama keluarga demi memastikan pelayanan terbaik untuk para jemaah.
Mulai dari penyediaan akomodasi, manajemen transportasi, layanan kesehatan, hingga bimbingan ibadah, semuanya ditangani dengan semangat pelayanan dan keikhlasan yang patut kita syukuri.
Jika Raudhah adalah taman surga, maka pelayanan yang baik bagi jemaah adalah jembatan menuju surga sosial. Kita semua sedang membangun jembatan itu—para jemaah, petugas, dan pemimpin yang mengayomi.
Kembali dari Raudhah, saya tidak membawa oleh-oleh apa-apa, kecuali semangat untuk terus memperbaiki diri.
Untuk menjadi abdi negara yang tidak hanya profesional, tetapi juga penuh kasih dan empati. Untuk menjadi suami dan ayah yang tak hanya mencari nafkah, tapi juga menanam nilai-nilai iman di rumah. Dan untuk menjadi umat Nabi yang tidak hanya bangga dengan gelarnya, tetapi benar-benar meneladaninya.
Semoga setiap dari kita, saat suatu hari berkesempatan menjejak Raudhah, dapat menjadikannya bukan hanya sebagai tempat kunjungan spiritual, tetapi sebagai titik balik kehidupan.
Prof. Dr. H. Ismail Fahmi Arrauf Nasution, MA (Rektor IAIN Langsa, Anggota Tim Monev Ibadah Haji Kementerian Agama RI)